Ketuanan Melayu

Ketuanan Melayu (كتوانن ملايو) adalah konsep politik yang menekankan keunggulan Melayu di Malaysia saat ini. Konsep ini tertuang dalam Pasal 153 Konstitusi Malaysia yang memberikan jaminan hak-hak khusus kepada etnis Melayu di Malaysia.[1] Institusi politik tertua di Malaysia adalah sistem penguasa Melayu di sembilan negara bagian Melayu. Pemerintahan kolonial Inggris mengubah sistem ini dan menggantikannya terlebih dahulu menjadi sistem pemerintahan tidak langsung, kemudian pada tahun 1948, dengan menggunakan lembaga berdasarkan budaya ini, mereka memasukkan monarki Melayu ke dalam cetak biru bagi Federasi Malaya yang sudah merdeka.[2]

Istilah Tanah Melayu menganggap kepemilikan negara bagian Melayu. Dalam metode ini, pemerintah kolonial memperkuat etnonasionalisme Melayu, etnis dan budaya Melayu, serta kedaulatan Melayu dalam negara-bangsa baru. Meskipun budaya lain akan terus berkembang, identitas komunitas politik yang muncul akan dibentuk oleh budaya politik "bersejarah" dari kelompok etnis Melayu yang dominan.[3] Imigran Tionghoa dan India yang merupakan minoritas signifikan di Malaysia dianggap berutang budi kepada orang Melayu karena memberi mereka kewarganegaraan dengan imbalan hak istimewa sebagaimana diatur dalam Pasal 153 Konstitusi Malaysia. Pengaturan quid pro quo ini biasanya disebut sebagai kontrak sosial. Ketuanan Melayu biasa disebut oleh para politikus, khususnya yang tergabung dalam Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO).

Meskipun gagasannya sendiri sudah ada sejak sebelum kemerdekaan Malaysia, istilah "ketuanan Melayu" baru mulai terkenal pada awal dasawarsa 2000-an. Dalam sejarah, oposisi politik yang paling lantang terhadap konsep tersebut berasal dari partai-partai beranggotakan bangsa minoritas seperti Partai Gerakan Rakyat Malaysia dan Partai Aksi Demokratik (DAP). Gagasan ketuanan Melayu mendapat perhatian pada dasawarsa 1940-an, ketika orang Melayu mengorganisasi diri untuk memprotes pendirian Persatuan Malaya dan kemudian berjuang demi kemerdekaan. Selama dasawarsa 1960-an, terdapat upaya substansial yang menantang ketuanan Melayu yang dipimpin oleh Partai Aksi Rakyat (PAP) asal Singapura yang merupakan negara bagian sejak 1963 hingga 1965 dan DAP setelah pengeluaran paksa Singapura. Namun, pasal Konstitusi Malaysia yang terkait dengan ketuanan Melayu tetap "bercokol" setelah kerusuhan rasial 13 Mei 1969, menyusul kampanye pemilihan umum yang berfokus kepada masalah hak warga bukan Melayu dan ketuanan Melayu. Pada saat yang sama muncul "ultra" yang mengokohkan pemerintahan satu partai yang dipimpin oleh UMNO, dan peningkatan penekanan pada orang Melayu sebagai orang-orang definitif Malaysia, yaitu hanya orang Melayu yang bisa menjadi orang Malaysia sejati. Pada milenium ketiga, sejumlah partai lain yang tergabung dalam Pakatan Harapan seperti Partai Keadilan Rakyat dan Partai Amanah Negara juga mengikuti jejak Partai Aksi Demokrasi yang menggugat ketuanan Melayu dan sebaliknya memajukan "ketuanan rakyat".

Kerusuhan ini menyebabkan perubahan besar dalam pendekatan pemerintah terhadap masalah rasial dan mengarah pada pengenalan kebijakan aksi afirmatif agresif yang sangat memihak orang Melayu, Kebijakan Ekonomi Baru (DEB). Kebijakan Kebudayaan Nasional yang juga diperkenalkan pada tahun 1970 menekankan kepada asimilasi orang bukan Melayu ke dalam kelompok etnis Melayu. Namun selama dasawarsa 1990-an, Perdana Menteri Mahathir bin Mohamad menolak pendekatan ini lewat kebijakannya Bangsa Malaysia yang menekankan identitas Malaysia alih-alih Melayu untuk negara bagian. Selama dasawarsa 2000-an, politisi mulai menekankan ketuanan Melayu lagi dan secara terbuka mengecam menteri pemerintah yang mempertanyakan kontrak sosial.

Kemenangan mengejutkan Pakatan Harapan dalam pemilihan umum pada 2018 sedikit banyak berpengaruh terhadap gagasan ketuanan Melayu.

  1. ^ Meredith L. Weiss, "The 1999 Malayan General Elections: Issues, Insults, and Irregularities." Asian Survey, Vol. 40, No. 3, (May 200)pp 430.
  2. ^ Amy L. Freedman (2000). Political Participation and Ethnic Minorities: Chinese Overseas in Malaysia, Indonesia, and the United States. Routledge. hlm. 74. ISBN 978-0-415-92446-7. 
  3. ^ Wang Gungwu (2005). Nation Building: Five Southeast Asian Histories. Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 99. ISBN 978-981-230-320-2. 

© MMXXIII Rich X Search. We shall prevail. All rights reserved. Rich X Search